Rabu, 15 November 2017

Walk Out Legendaris yang Dilakukan NU-PPP di Era Orde Baru



Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) hasil Sidang Umum MPR 1978 menetapkan dua hal yang bikin kecewa kalangan Islam: mengakui aliran kepercayaan sejajar dengan agama-agama resmi dan mewajibkan indoktrinasi ideologi negara secara massal lewat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). 
Anggota MPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tergabung dalam Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) menolak dua poin tersebut. PPP adalah partai yang saat itu masih berasas Islam. Setelah kebijakan fusi partai diberlakukan pemerintah pada 1974 (dari 9 menjadi 2 partai plus Golkar yang dianggap “bukan partai” tapi mengikuti Pemilu), PPP adalah satu-satunya representasi Islam dalam panggung politik. 
Dua poin itu memang sensitif bagi umat Islam. Pengakuan resmi terhadap aliran kepercayaan dianggap merendahkan Islam sebagai agama. Sementara indoktrinasi Pancasila dikhawatirkan bisa “mengganti” posisi agama dalam kehidupan masyarakat.

Seperti diungkap Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru (1994), K.H. Bisri Syansuri memandang keputusan tersebut sebagai “ancaman terhadap status Islam sebagai agama dan memprotesnya dengan keras” (hlm. 106). Sebagai Presiden Majelis Syuro PPP sekaligus ulama NU terkemuka, pendapat Kiai Bisri tentu sangat berpengaruh dan banyak diikuti para kader PPP.
Kiai Bisri sendiri sebenarnya bukan tipikal ulama yang terlalu peduli politik. Perhatian dan pertimbangannya lebih tertuju kepada persoalan keagamaan dan keumatan. Ia dikenal tidak memiliki naluri politik dan keluwesan yang dibutuhkan untuk memimpin sebuah partai. Penalaran dan dasar keputusannya selalu berlandaskan prinsip fiqh (hukum Islam) alih-alih kepentingan politik. 
Sebagaimana lazimnya ulama nahdliyin, ia pun lebih memilih menghindari konflik dengan pemerintah. Tetapi, menurut Bruinessen, “dia menolak bersikap kompromi apabila menyangkut prinsip agama” (hlm. 104).
Maka, ketika mengetahui pemerintah mengesahkan dua poin tersebut, Kiai Bisri murka. Tak biasanya ia terlihat semarah itu dan sampai memutuskan sesuatu yang jarang ia lakukan: mengeluarkan pendapat politik.

Dalam Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2003), Greg Barton mengungkapkan, “Tahun berikutnya [1978], NU dan PPP memiliki kesempatan lebih lanjut untuk menunjukkan independensi politik mereka. Kiai Bisri marah dengan dua keputusan yang muncul dari parlemen” (hlm. 114). 

Ketidaksukaan Kiai Bisri dan kalangan Islam bisa dipahami sebagai ketidaksetujuan terhadap indoktrinasi P4, bukan pada Pancasila itu sendiri. Dalam indoktrinasi itu, tertangkap kesan soal relativisme agama yang menyatakan semua agama diakui sama benarnya dan bahkan menyejajarkan aliran kepercayaan dengan agama-agama resmi. 
Sensitivitas Kiai Bisri dan orang-orang PPP sebenarnya berkaitan erat dengan kebijakan Soeharto terhadap Islam dan represinya kepada aspirasi politik umat Islam. Pada dekade 1970-an, Orde Baru bukan hanya dianggap tidak memberi proporsi yang layak namun juga malah meminggirkan aspirasi politik Islam. Padahal, peran kalangan Islam dinilai cukup besar dalam melahirkan Orde Baru -- khususnya dalam pemberangusan PKI sebagai poros penting kekuatan politik Orde Lama.
Diungkapkan lebih lanjut oleh van Bruinessen, “Kepekaan umat Islam dapat dimengerti lebih baik jika orang ingat bahwa umat Kristen terlalu banyak duduk di elite kekuasaan dan karena Soeharto sendiri dan para penasehat terdekatnya dipercaya sebagai penganut Aliran Kepercayaan dan tidak simpatik terhadap Islam skripturalis” (hlm. 106). 
Tepat di masa itu pula, banyak kalangan Islam menganggap Pancasila sebagai produk aliran kepercayaan yang tidak sesuai syariat. Dan Soeharto, yang saat itu sudah menampakkan tanda-tanda sebagai “penafsir tunggal Pancasila”, dikhawatirkan akan memaksakan ideologi negara itu sebagai pengganti agama.x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengabdian Badan Pengawas Pemilu Surabaya 2020

Pengabdian Badan Pengawas Pemilu Surabaya 2020 Desember 26, 2020 Pengabdian untuk Negara di Badan Pengawas Pemilu (bawaslu) (ahmad sodiq ana...